Politik dan Kekuasaan
Beberapa waktu lalu Indonesia menjadi pusat perhatian dunia dengan pemberitaan tewasnya Dr Azahari selaku teroris yang paling dicari selain Nordin M Top karena diduga sebagai otak dari berbagai kegiatan terorisme (pengeboman) yang selama ini terjadi di Indonesia meskipun pada akhirnya mengundang sejumlah pertanyaan dari para pengamat intelijen di Indonesia terkait dengan kematian Dr Azahari.
Terlepas dari itu semua, kita harus menyadari bahwa segala sesuatu yang terjadi di negara ini, atau bahkan di duna ini takkan pernah lepas dari yang namanya politik. Politik merupakan wilayah konsep dan praksis yang sangat luas. Sebagai sebuah konsep, politik bisa berupa sesuatu yang abstrak, namun dalam koridor tertentu masih dapat diukur dengan kriteria-kriteria tertentu. Sebagai praksis, politik tidak hanya terjadi dalam wilayah yang kecil seperti desa, akan tetapi dapat juga terjadi di wilayah yang besar seperti dalam suatu negara atau bahkan antar negara.
Sebelumnya kita tinjau dari segi definisi. Menurut Harold D Lasswell, politik adalah perkara “siapa mendapatkan apa, kapan dan dengan cara bagaimana”. Menurut Joyce Mitchell, politik adalah pengambilan keputusan kolektif atau pembuatan kebijakan umum untuk masyarakat seluruhnya. Sedangkan menurut Karl W Deutch, politk adalah pengambilan keputusan melalui sarana umu. Jika merujuk pada definisi yang pertama dan kita mencoba untuk menelusuri lebih jauh maka esensi dari definisi di atas adalah konflik, karena politik adalah perihal mencari, mempertahankan dan memanfaatkan kekuasaan, sehingga rentan dengan terjadinya konflik.
Sementara itu, kekuasaan sendiri mempunyai pengertian sebagai konsep yang berhubungan erat dengan masalah pengaruh (influence), persuasi (persuasion), manipulasi (manipulation), koersi (coersion), kekuatan (force) dan kewenangan (authority). Kekuasaan juga bisa diartikan sebagai kemampuan seseorang atau suatu kelompok untuk mempengaruhi tingkah laku orang atau kelompok lain sedemikian rupa sehingga tingkah laku orang atau kelompok lain itu sesuai dengan keinginan dan tujuan dari orang yang mempunyai kekuasaan itu.
Dalam banyak kasus yang terjadi selama ini, politik sering dipraktekkan sebagai arena atau alat untuk mencari dan mempertahankan kekuasaan, sehingga tidak mengherankan jika politik sering bermakna “kotor” dan identik dengan “menghalalkan segala cara”. Dalam suatu sistem yang demokratis, seharusnya politik mempunyai makna dan dipraktikkan secara positif dan rasional. Karena dalam sistem ini politik adalah alat untuk menciptakan kesejahteraan umum dan mendukung proses-proses sosial yang adil dan manusiawi. Namun kenyataan yang terjadi selama ini di negara Indonesia yang dikenal sebagai negara yang demokratis, pelaksanaan politik itu sendiri justru cenderung hanya mengarah kepada kekuasaan oleh suatu kelompok tertentu yang disertai dengan kesejahteraan parsial, bukannya kesejahteraan atas seluruh warga negara.
Tentu kita masih ingat dengan rezim orde baru yang berkuasa di Indonesia selama kurang lebih 32 tahun yang akhirnya telah berhasil membentuk sebuah sistem yang mampu mengakar sangat kuat di negeri ini hingga detik ini. Meskipun sebenarnya sistem tersebut sangatlah buruk, namun harus kita akui bahwa tidak mudah mengubah sebuah sistem yang telah mengakar dan telah menjadi budaya/ kebiasaan. Hal ini adalah salah satu contoh akibat dari penerapan politik yang berorientasi pada kekuasaan. Tentunya kita tidak menginginkan hal itu terjadi lagi di bumi Indonesia ini.
Sekarang sudah saatnya bagi kita semua untuk mengubah pandangan kita terhadap politik bahwa politik bukan lagi berorientasi pada kekuasaan tapi lebih mengarah kepada pemulihan dan peningkatan kesejahteraan masyarakat secara keseluruhan, karena telah jelas sekali dampak buruk yang diderita oleh masyarakat. Ke depannya diharapkan politik selalu menyangkut tujuan-tujuan dari seluruh masyarakat (public goals), dan bukan tujuan-tujuan dari pribadi/ kelompok (private goals) sehingga dapat dicapai kesejahteraan masyarakat secara menyeluruh.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar